Selasa, 14 Desember 2010

Genesa BatuBara


                                                                  GENESA BATUBARA

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK BATUBARA

Schlatter’s (1973) menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi, karena ada bermacam-macam proses yang berbeda satu dengan lainnya yang mempengaruhi pembentukan batubara, baik derajat maupun jenis batubaranya pada suatu cekungan (Gb. 3.1).

1 Posisi geotektonik (geotectonic position)
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum, dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim, morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan, jenis flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal type), derajat batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk (Gambar 3.2).

Pada daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida, klorit, dan karbonat.

Cekungan batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik (lihat kuliah cekungan batubara). Batubara di Sumatera Selatan terjadi di cekungan belakang busur pada lingkungan yang sebagian besar berair payau, sedangkan batubara Ombilin terjadi di cekungan intra-montane pada lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu terjadi cekungan muka busur di lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur pada  delta yang progradasi, seperti di Delta Mahakam.

2  Topografi purba (paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam menentukan penyebaran rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai datar dan tidak berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan batubara, demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.

3 Posisi geografi (geographical position)
Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah sedang, di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara akan baik pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.

Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut dipengaruhi oleh:
1.     Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
2.     Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa dari abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan abrasi laut.
3.     Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus akan menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.

Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan daratan (limnic) dan pantai laut (paralic). Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun, sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai. Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.

4 Iklim (climate)
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu, suhu yang lebih panas tidak hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga mempercepat pembusukan.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan daerah tropik didominasi pohon.

Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris, Glossopteris, Cycadophyta, dan Conifers.

Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu sekarang.

5  Tumbuhan (flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.

Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam, cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak, dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang dalam jumlah kecil. Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.

Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.

6  Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang merupakan bagian transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka yang berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh kerja bakteri dan jamur, terutama di daerah yang bertemperatur hangat dan lembab daripada di daerah kering dan bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen, mula-mula menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protoplasma, dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air dan sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan. Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi gambut. 

Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga menyulitkan penguraian oleh bakteri.

Pembusukan umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti, yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.

7  Penurunan dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara tebal.  Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.

Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
                              
8   Waktu geologi (geological age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.

Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada batubara yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.

Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi. Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban, Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.

9  Sejarah setelah pengendapan (post-depositional history)
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena posisi geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh pada tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan metamorfose organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara, lipatan, sesar, atau terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara. 

10  Metamorfosa organik (organic metamorphism)
Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.

Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia, kenaikan suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan oksigen yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.

Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan cekungan, dan waktu geologi. 


PEMBATUBARAAN

Secara umum telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan yang karena proses-proses geologi, maka terbentuklah endapan batubara yang kita lihat sekarang. Pembentukan tumbuhan mati menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification).

1 Tahap biokimia/diagenesa gambut (peatification)
Tahap diagenesa gambut merupakan tahap awal pembentukan batubara, yaitu mencakup perubahan oleh mikroba dan proses kimia. Dimulai dari pembusukan tumbuhan sampai terbentuk gambut (peat). Pada tahap ini dicirikan oleh aktivitas bakteri aerob (membutuhkan oksigen) dan anaerob (tidak membutuhkan oksigen).

Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zone, yaitu zone permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zone tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada zone peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose. Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi glikose dengan cara hidrolisis: 
C6H10O5 + H2Þ  C6H12O
(cellulose)                (glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:

C6H10O5 + 6 O2  Þ  6 CO2 + 5 H2O

Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.

Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).

Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan berkurang (mati) dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi  H2O, CH4, CO, dan CO2.

Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah secara mikrobiologi.

Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan berikut ini:
1.     Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
2.     Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
3.     Suplai oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
4.     Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan bakteri.

Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984) menyebutkan bahwa pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen (Tabel 3.1), dimana salah satu dari empat proses biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.     Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin dan lilin.
2.     Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3.     Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang terakmulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.     Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian hancuran tanaman akuatik (terutama algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik.  

Secara umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis (Diessel, 1992), yaitu:
      1.     Vitrinisasi (vitrinisation path)
Hasil humifikasi pada dekomposisi hidrolik terhadap tumbuhan yang telah mati akan mengalami suatu deret kestabilan dari kandungan sel-sel yang lunak menjadi celulose, hemicelulose, dan beberapa komponen yang lebih tahan seperti lignin (Waksman dan Stevens, 1929). Fluida humik akan berubah sepanjang tahapan humifikasi. Kompaksi dan dehidrasi gambut akibat penambahan beban oleh lapisan penutup mengakibatkan fluida humik mengental. Dalam batubara muda fluida humik muncul sebagai humocollinit (jika berupa koloid) dan humodetrinit (jika bercampur dengan fragmen-fragmen sisa sel). Koloid humik dapat mengisi ruang-ruang sel jaringan tumbuhan dan setelah pembatubaraan pada tingkat batubara bitumen akan muncul sebagai gelocollinit. Setelah presipitasi, koloid humik dapat berupa granular (sebagai porigelinit) dan kemudian lumer (gelify) berbentuk larutan atau zat yang jernih (sebagai eugellinit).
      2.     Fusinitisasi (fusinitisation path)
a.     Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang mempunyai kandungan karbon tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan tumbuhan ini sebelum sedimentasi berakhir telah mengalami dehidrasi pada suatu periode kering dan oksidasi yang intensif (fusinitisasi). Ada tiga model proses fusinitisasi, yaitu:
b.     Pengawetan akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid humik yang kemudian terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan melanjutkan hidrolisa. Hasilnya disebut oxi-semifusinite yang memperlihatkan efek humifikasi akibat mikroba dengan baik.
c.    Pembentukan semifusinit sebagai akibat dekomposisi selektif oleh organisme terhadap jaringan kayu, terutama jaringan yang lunak (degrado semifusinit).
d.     Akibat pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka akan menyebabkan perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan dengan berbedanya kedalaman. 

Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1.     Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2.     Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3.     Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4.     Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat sellulose (pada brown coal cellulose tidak hadir).
5.     Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6.     Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.

Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.

2  Tahap geokimia/pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.

Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang menentukan “kualitas” batubara.

Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.

Perubahan-perubahan fisika-kimia berlangsung secara bertahap, yaitu:
1.     Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
2.     Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
3.     Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di molekul.
4.     Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
5.     Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.

Meningkatnya tekanan dapat disebabkan oleh penambahan ketebalan lapisan penutup (lapisan sedimen di atasnya) atau penurunan post-depositional. Akibat tekanan yang tinggi, maka porositas pada gambut akan menurun dan sejalan dengan terdekomposisinya senyawa OH grup akan mengakibatkan menurunnya kandungan air. Di samping itu, grup senyawa yang lain (COOH, CH3, CO) akan terpecah, sehingga terbentuk karbondioksida dan makin meningkatnya oksigen yang hilang, maka kandungan karbon akan meningkat.

Derajat batubara tergantung pada temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan beku, gradien geotermal, dan konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier di Upper Rhein Graben dengan gradien hidrotermal 7-80C/100 m, menghasilkan batubara bituminous pada kedalaman 1500 m, sedangkan di daerah dingin yang gradien hidrotermalnya 40C/100m dapat mencapai derajat yang sama pada kedalaman 2600m.

Faktor waktu menurut hasil penelitian pada gambut lepas setebal 10-12 ft akan menghasilkan 1 ft gambut padat memmerlukan waktu sekitar 100 tahun. Dalam proses dari gambut menjadi batubara terjadi pemampatan dan jika diambil contoh kayu sebagai basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume dalam % adalah:
1.     Gambut               =  28 - 45%
2.     Lignite                 =  17- 28%
3.     Bituminous coal   = 10- 17%
4.     Anthracite           = 5 - 10%                                                       

Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut termampatkan adalah 100 tahun, maka dengan menggunakan persentasi di atas dapat diasumsikan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut hingga diperoleh ketebalan batubara 1 ft, yaitu:
1.     Lignite        =   160 tahun
2.     Bituminous =    260 tahun
3.     Anthracite  =    490 tahun

Angka-angka di atas hanya untuk menggambarkan bahwa laju akumulasi gambut dan batubara sedemikian lambatnya, sementara kondisi di alam demikian banyak faktor yang mempengaruhinya.

Pengaruh waktu akan berarti bila diikuti temperatur yang tinggi, seperti contoh berikut ini. Di Gulf Coast of Louisiana yang mengandung batubara Miosen Akhir, terbenam pada kedalaman 5440 m selama 17 juta tahun dengan temperatur 1400C menghasilkan high volatile bituminous (35-40% VM), sedangkan pada batubara Karbon dengan kedalaman yang sama selama 270 juta tahun hanya mencapai low volatile bituminous (14-16% VM). Contoh lain yang terkenal adalah lignit di Moscow Basin yang berumur Karbon Bawah, tetapi sampai sekarang tidak pernah menjadi batubara, karena temperaturnya tidak tercapai.

Selanjutnya, tercapainya derajat batubara juga dapat tergantung pada gabungan temperatur dan waktu. Sebagai contoh, pada batubara dengan kandungan zat terbang 19% dapat terbentuk pada kondisi:
1.     2000C selama lebih dari 10 juta tahun
2.     1500C selama lebih dari 50 juta tahun
3.     1000C selama lebih dari 200 juta tahun
4.     50-600C tidak pernah terbentuk batubara

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada prinsipnya derajat batubara ditentukan oleh faktor temperatur, tekanan, dan waktu, sehingga bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mengendalikan adalah:
1.     Derajat batubara sebelum terganggu kegiatan intrusi atau struktur geologi.
2.     Ukuran dan bentuk kegiatan intrusi atau struktur geologi.
3.     Jumlah dan asal tekanan.
4.     Jarak batubara dari gangguan.
5.     Suhu batubara dari gangguan
6.     Lama gangguan berlangsung.

 

BATUBARA BERDASARKAN TEMPAT TERJADINYA

Berdasarkan tempat terjadinya, maka pembentukan batubara dapat dibagi menjadi batubara yang terbentuk secara in-situ dan batubara yang bahan pembentuknya sudah mengalami transportasi (drift) atau disebut juga dengan autochthonous coals dan allochthonous coals  (Hacquebard & Donaldson, 1969 dalam Roy D. Merrit, 1986).

Autochthonous coals
Batubara yang bahan-bahan pembentuknya berasal dari tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya dan membentuk batubara di tempat itu juga.

Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1.      Hadirnya seat earths.
2.      Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3.      Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
4.      Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan batubara maupun lapisan antar seam.
5.      Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan drainase buruk.
6.      Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan batubara.
7.      Ketebalannya seragam (kurang bervariasi) cenderung tipis dan berbentuk lentikuler.
8.      Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9.      Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara dengan lapisan sedimen di atasnya.
10.   Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps, low-lying swamps, dan raised swamps.
11.   Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain, clarain, durain, dan fusain.

Allochthonous coals
Batubara yang bahan pembentuknya (bagian-bagian dari tumbuhan) berasal dari tempat lain dimana tumbuhan asal berada, kemudian tertransport, terendapkan, dan membentuk batubara.

Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tidak adanya seat earths.
2.      Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok pohon yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3.      Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4.      Berasosiasi dengan endapan delta.
5.      Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
6.      Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan penutup.
7.      Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
8.      Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.
9.      Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites dan inertinites dengan mineral matter yang melimpah.

                                                            

DAFTAR PUSTAKA

Alan C. Cook, 1997, Coal Geology and Coal Properties, Keiraville Consultants, Australia.
Claus F.K. Diessel, 1992, Coal Bearing Depositional Systems, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Roy D. Merrit, 1986, Coal Exploration, Mine Planning, and Development, Noyes Publications, New Yersey, USA. 
Shell Internationale Petroleum Maatschappij B.V., 1976, Coal Exploration and Mining Manual, Part I, The Hague, Report Sc. 76.5.
Teichmuller M & Teichmuller R, 1982, Stach’s textbook of Coal Petrology, Gebruder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.




1 komentar: