Rabu, 15 Desember 2010

Geologi BatuBara

GEOLOGI BATUBARA

1  LAPISAN BATUBARA (COAL SEAM)

Meskipun batubara terbentuk dari material yang berbeda, secara kimia maupun petrografi dari batuan sedimen lainnya. Lapisan batubara merupakan suatu bagian dari suatu pengendapan batuan sedimen yang bermacam-macam. Beberapa lapisan batubara dapat ditemukan sebagai lapisan yang melampar luas dengan kualitas dan ketebalan yang sama dalam urutan yang teratur dengan batuan sedimen lainnya. Akan tetapi ada juga lapisan batubara yang tersebar tidak teratur dan tidak menerus, bahkan menebal, menipis, terpisah, dan melengkung dengan berbagai variasi serta banyak pula yang terdiri dari campuran material bukan batubara. Di samping aspek geometri yang bervariasi, maka aspek kualitas juga demikian, yaitu pada lapisan batubara yang sama, komposisinya banyak yang tidak merata, baik secara vertikal maupun horisontal.
Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara hanya akan diperoleh jika hubungan dengan lapisan batuan yang berasosiasi (lingkungan pengendapan) diperhitungkan bersamaan dengan proses tektonik yang mempengaruhi daerah tersebut

2   LAPISAN PEMBAWA BATUBARA

Lapisan batubara terbentuk bersama-sama dengan bahan anorganik yang kebanyakan berupa klastik halus seperti serpih, batulempung, batulanau, dan batulumpur. Juga dapat berasosiasi dengan batupasir halus sampai kasar, konglomerat, bahkan batugamping. Asosiasi batuan di atas yang dijumpai bersama lapisan batubara, disebut sebagai lapisan pembawa batubara/formasi pembawa batubara (coal measures/coal bearing formation).

Ketebalan lapisan pembawa batubara, bervariasi dari beberapa meter sampai ribuan meter. Di Jerman, batubara Ruhr dengan lapisan pembawa batubara setebal 3.000 m, lapisan batubaranya tidak menerus karena tererosi. Di Indonesia, seperti di Bukit Asam yang total tebal batubaranya 35 m mempunyai lapisan pembawa batubara yang tebalnya mencapai 450 m sampai 750 m pada Formasi Muara Enim. Demikian juga, di Tutupan Kalimantan Selatan yang tebal total batubaranya 100 m dengan lapisan pembawa batubaranya setebal 600 m.

3  BATUAN YANG BERASOSIASI DENGAN LAPISAN BATUBARA

Batuan yang sering ditemukan berasosiasi dengan lapisan batubara, umumnya adalah batuan sedimen klastika berbutir halus.

3.1  Batuan sedimen klastika
Dalam suatu urutan perlapisan batuan yang mengandung batubara, maka batuan sedimen klastika yang umum dijumpai adalah serpih, batulempung, batulanau, dan batulumpur. Perbandingan serpih, batulempung, dan batulanau dengan batupasir diperkirakan sebesar 3:1 (Duff dan Walton, 1962, dalam Murchison, 1968).

Perubahan fraksi serpih atau batulanau ke batupasir halus, biasanya sebagai perlapisan yang baik, tetapi bentuknya bermacam-macam dan menghasilkan suatu seri jenis batuan yang tidak mudah untuk  dimasukan ke dalam skala ukuran butir yang sederhana. Seri batuan yang tidak sederhana ini lalu diformulasikan sendiri oleh ahli tambang, di Inggris disebut dengan stonebind, yaitu selang-seling batulempung dan batupasir. Untuk batupasir masif yang berselingan dengan lensa-lensa batubara yang tidak teratur disebut sebagai skary post (Arkell dan Tomkeiff, 1953 dalam Murchison, 1968).

Istilah-istilah demikian memang tidak menguntungkan dalam terminologi geologi. Sesungguhnya litologi dan tekstur yang kompleks ini sebagai cerminan variasi kondisi lingkungan pengendapan.

Batupasir dijumpai dalam berbagai jenis, tidak jarang dengan kandungan batulanau dan batulempung yang cukup banyak, sehingga struktur sedimennya bervariasi. Batuan karbonat juga dijumpai, tetapi tidak umum, di Inggris dijumpai dalam jumlah yang melimpah seperti argilaceous, batugamping bioklastik, dan kadang dolomit.

Fraksi batulanau dan batupasir halus sering sulit dibedakan secara megaskopis, padahal sedimen ini khas dalam urutan vertikal dan fasies berubah kearah horisontal terutama kearah lapisan yang kasar, seperti yang terdapat pada channel sandstone.


3.2  Batulempung kaolinitan (tonstein)
Istilah batulempung kaolinit digunakan oleh Loughnan (1979) untuk menjelaskan sebuah individu khusus dari batuan sedimen masif yang terbentuk dari mineral lempung kaolin. Kaolin merupakan mineral yang melimpah dalam batuan ini, biasanya terjadi dalam bentuk kristal dan berasosiasi dengan sejumlah kecil kuarsa, siderit atau illit. Variasi batuannya berwarna putih sampai coklat keabu-abuan atau hitam tergantung dari bahan karbonan dan material ferrugenous yang ada. Batuan ini kadang disebut sebagai tuff.

Tekstur batulempung kaolinit bervariasi, yaitu:
1.     Breksiasi: materialnya terbentuk dari clast-clast batulempung angular penecontemporaneous, diameternya dapat mencapai beberapa cm.
2.     Pelletal: terbentuk dari partikel batulempung yang bulat atau agregat lempung, berukuran silt (graupen) sampai partikel spheroidal dengan diameter 10 mm atau lebih.
3.     Oolitik: terdiri dari oolitik spheroidal yang terlapisi secara konsentris oleh material yang kaya kaolin.
4.     Masif: merupakan mudstone yang berkembang dengan baik, terisi oleh kumpulan kristal kaolin yang lentikuler dalam bagian yang tipis.

Asal usul batulempung kaolinit telah lama menjadi kontroversial dalam literatur ilmiah. Berikut ini batulempung kaolinit dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu:
1.     Autochthonous origin: pembentukan insitu dari kaolin dalam rawa batubara atau lingkungan lain yang serupa karena perubahan kimiawi atau biokimiawi dari sedimen volkanoklastik, epiklastik, atau bioklastik. Mekanisme seperti ini dibahas oleh Patterson dan Hosterman (1962), Moore (1964, 1968), Keller (1968, 1981), serta Price dan Duff (1969).
2.     Allochthonous origin: pembentukan kaolin, bauksit atau aluminosilikat koloid karena pelapukan di luar rawa dan tertransport ke dalam rawa atau areal yang sesuai untuk pengendapan akhir detritus kasar. Mekanisme tipe ini dibahas oleh Loughnan (1970, 1975, 1978).

Menurut Ward (1978), lapisan tipis batulempung kaolinit yang sebarannya meluas di dalam lapisan batubara atau di dalam sekuen lapisan pembawa batubara, dapat berupa pita-pita tipis (< 1 cm) sampai tebal (>30 cm). Batulempung kaolinit ini disebut juga dengan flint clays (Keller, 1967) atau tonstein (Scheere, 1959; Williamson, 1961; Moore, 1964; Bishof, 1983 dan 1986).

Bishof (1983, 1986) mula-mula mendifinisikan tonstein sebagai suatu batulempung berupa pita argilaceous yang tampak jelas di dalam lapisan batubara berumur Karbon. Kemudian definisinya sedikit berkembang dengan pengertian bahwa batulempung ini berkaolinitan dan berbitumen serta dapat terjadi pada antar lapisan-lapisan di dalam batuan argilaceous yang terletak di atas atau di bawah lapisan batubara dan terdapat tidak hanya pada batubara berumur Karbon.

Secara mineralogis tonstein oleh Scheere (1959) dan Williamson (1961) di identifikasikan terdiri terutama dari kaolinit dengan kandungan materi berkarbon yang tersebar terpisah-pisah dan memiliki ciri fisik dan kimia tertentu, sehingga dapat membantu di dalam korelasi. Pada saat ini tonstein diketahui tersebar diberbagai tempat di dunia dan terdapat dalam berbagai urutan stratigrafi mulai dari umur Karbon sampai Tersier. Mineraloginya bervariasi mulai dari dominan kaolinit sampai dominan smektit atau dominan mixer-layer illit-smektit dengan berbagai proporsi bahan karbon dan mineral detritus. Banyaknya pita tonstein di dalam lapisan batubara atau lapisan pembawa batubara dapat lebih dari sebuah.

Dalam Darmawan (1988) disebutkan bahwa hubungan tonstein dengan mineral batubara diajukan dalam suatu hipotesa, yaitu bahwa tonstein terbentuk pada lingkungan yang serupa dengan lingkungan terbentuknya lapisan batubara. Sehingga ciri-ciri terbentuknya dapat mencerminkan proses-proses yang aktif bekerja selama pembentukan batubara. Ciri-ciri tersebut ditunjukan oleh Brown et al (1965) di daerah Lower Hunter Valley, New South Wales, Australia, yaitu pada sedimen antar batubara berumur Perm menunjukan kandungan mineral lempung kaolinit, mika (illit), smektit, dan mixed layer smektit-mika (Hamilton, 1966, 1968). Demikian pula pada sedimen yang mengandung batubara di New Castle dan Ollawara di Cekungan Sidney (Loughnan, 1966, 1971). Fasa-fasa tadi ternyata sama dengan yang terdapat secara luas pada batubara bitumen Australia (Ward, 1972), hingga adanya kepercayaan pada kecenderungan seperti di atas.

Pandangan Brown di atas kini tidak berlaku di daerah Cina baratdaya pada batubara di Formasi Longtan di Propinsi Giuzhou dan Guangxi. Di daerah ini tidak terdapat hubungan antara lingkungan rawa gambut dengan genesa tonstein karena lapisan tonstein kadang meluas keluar dari lapisan batubara yang melingkupinya menuju ke batuan lain. Juga diikuti oleh sebaran tonstein secara lateral makin berkurang ke arah tenggara cekungan batubara. Demikian juga dengan lapisan batubara Pewee di Cekungan Wartburg, timurlaut Tennesse (Dorsey, AE Kopp OC, 1985). Ternyata variasi konsentrasi unsur kimia mineralnya tidak menunjukan hubungan antara lapisan sedimen yang menutupi batubara dengan lapisan batubara, baik dalam arah vertikal maupun mendatar. 

Di Indonesia, tonstein telah banyak digunakan sebagai lapisan penunjuk untuk korelasi, seperti yang telah dilakukan oleh tim gabungan Inggris-Indonesia di Cekungan Kutei, Kalimantan Timur (Addison et al, 1983), daerah Tanjung Enim dan Ombilin oleh Tim Proyek Evaluasi Tambang Batubara Ombilin serta Inventarisasi dan Eksplorasi Batubara DSDM (1981-1983), dan di Cekungan Bengkulu (Kuncoro, 1998).


3.3  Seatearths, underclays, fireclays dan gannisters
Batuan alas lapisan batubara terdiri dari material yang bervariasi, antara lain serpih, batulumpur, batupasir, batugamping, atau soil yang umumnya masif, mengandung bekas akar tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai coklat, plastis, merupakan tanah purba tempat tumbuhan hidup, tidak mengandung alkali, kandungan kalsium dan besi rendah, sehingga perlu pemahaman yang baik bila kelak dilakukan penambangan. Terjadi karena proses perlindian (leaching) oleh air yang jenuh asam humik dari pembusukan tanaman.

Beberapa istilah untuk batuan alas, yaitu:
1.     Seatearth: merupakan istilah umum untuk batuan berbutir kasar maupun halus yang mengandung akar tumbuhan dalam posisi tumbuh (tegak terhadap bidang perlapisan) dan berada di bawah lapisan batubara, Istilah lain adalah seatrocks (Huddle dan Patterson (1961).
2.     Underclays: istilah untuk batuan berbutir halus yang mengandung akar tumbuhan dalam posisi tumbuh (tegak terhadap bidang perlapisan) dan berada di bawah lapisan batubara. Pengertian underclays lebih pada posisi batulempung yang berada di bawah lapisan batubara.
3.     Fireclays: batuan seatearth berbutir halus (lempung) yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku tahan api untuk bermacam produk yang berasal dari batulempung.
4.     Gannisters: adalah seatearth yang batuannya terdiri dari batupasir kuarsa, batulumpur plastis, dan batulanau yang tersusun oleh kuarsa, illit, montmorilonit, kaolinit, dan mineral lempung lainnya, juga dimungkinkan hadir kalsit, siderit, dan pirit (Odom dan Parham, 1968). Di Inggris, istilah gannister digunakan untuk batulempung kaolin atau disebut juga dengan flintclays.

Ketebalan seatearth sangat bervariasi, dari beberapa cm sampai beberapa meter. Kontaknya dengan lapisan batubara di atasnya dapat tegas sampai bergradasi, secara lateral bergradasi menjadi batuan lain seperti batupasir, serpih, batulempung, atau batugamping.

Tidak semua lapisan seatearth ditumpangi oleh lapisan batubara, hal ini dimungkinkan apabila tanah peat tidak terakumulasi atau telah tererosi. Sebaliknya tidak semua lapisan batubara pada bagian bawahnya terdiri dari seatearth, hal ini dimungkinkan terjadi pada batubara allochthonous.
Asal mula seatearth dianggap sebagai tanah atau substratum tempat tumbuhan hidup dan berkembang. Meskipun nampaknya seperti itu, namun pada saat tanah peat terakumulasi sampai ketebalan tertentu, akar tumbuhan dapat masuk dan berkembang di dalam debris organiknya sendiri. Atas dasar ini, maka ketebalan dan karakteristik seatearth kurang menunjukan adanya hubungan langsung dengan ketebalan lapisan batubara yang diendapkan di atasnya.

Berkembangnya permukaan yang licin (slicken side) pada seatearth, disebabkan karena kekompakan di sekitar struktur akar yang tercampur dengan akumulasi lempung di perairan rawa yang mengalami proses kompaksi.  
     
4   SPLITS
Kemenerusan lapisan batubara sering terbelah oleh bentuk membaji dari sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya, dapat akibat proses sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukan oleh perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar (Warbroke, 1981 dalam Diessel, 1984).

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi 3 (Britten et al, 1975 dalam Ward, 1983), yaitu:
1.     Simple splitting: adalah split sederhana yang disebabkan oleh kehadiran tubuh lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.
2.     Progressive splitting: bila terdiri dari beberapa lensa, sehingga splitting dapat berkembang secara terus menerus.
3.     Zig-zag splitting: terjadi pada satu lapisan batubara yang terbelah dan kemudian menyatu dengan lapisan batubara yang lain.

Pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu di dalam:
1.     Kegiatan eksplorasi, yaitu untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan perhitungan cadangan.
2.     Kegiatan penambangan, yaitu pada split dengan kemiringan sekitar 45o yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakan batuan, maka akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.


5   FLOOR DAN ROOF
Floor umumnya berupa seatearth, baik underclay maupun gannister (lihat seatearth), sedangkan roof litologinya lebih bervariasi daripada floor. Batas batubara dengan roof dan tegas atau berangsur yang merupakan fungsi dari proses pengendapannya. Pada batas yang tegas, apabila penutupan atau pengendapan berlangsung secara tiba-tiba. Pada kontak yang berangsur, bila pengendapan berlangsung secara lambat. Hal ini dapat terjadi bila material lumpur masuk kedalam peat bog dan terjadi pengenceran oleh lanau/lempung, sehingga batasnya kandungan karbonan berangsur dari batubara ke batuan sedimen karbonan, seperti batulempung/batulanau/serpih batubaraan dan hadirnya coal strings.
Serpih atau batulanau umumnya ditemukan di atas batubara daripada batupasir yang bersifat lokal. Roof banyak mengandung fosil, sehingga baik untuk korelasi. Hadirnya cangkang, remis, atau kepak yang terorientasi/sejajar menandakan horison laut atau endapan pantai.

CLEATS
Adalah kekar di dalam batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya orientasinya berbeda dengan kedudukan lapisan batubara.

Adanya cleat di dalam batubara disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu akibat mekanisme pengendapan, petrografi batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas penambangan.

Berdasarkan terjadinya, cleat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.  Endogenous cleat umumnya tegak lurus bidang lapisan batubara, dimana masing-masing bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara kedalam sejumlah besar fragmen-fragmen tipis yang tabular. Endogen cleat dibentuk oleh gaya internal yang muncul karena pengeringan atau penyusutan material organik.
2.    Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut.
3.     Induced cleat bersifat sangat terbatas/lokal karena terjadi akibat proses penambangan dengan adanya perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan yang digunakan.

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu:
1.     Bentuk kubus, umumnya pada endogenous cleat yang berderajat rendah.
2.     Bentuk laminasi, pada exogenic cleat berupa perselingan antara batubara keras dan lunak atau antara durain dan vitrain.
3.     Bentuk yang tidak menerus, berhubungan dengan endogenous cleat dan exogenic cleat.
4.     Bentuk yang menerus, biasanya berhubungan dengan struktur geologi atau akibat penambangan.
5.     Bentuk bongkah yang disebabkan oleh kejadian tektonik

Besarnya pengaruh cleat pada beberapa bagian dari suatu rangkaian industri pertambangan, membuat cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena kehadiran dan orientasi cleat akan mempengaruhi baik O/C atau U/G:
1.     Pemilihan tata letak tambang.
2.     Arah penambangan.
3.     Penerapan teknologi penambangan.
4.     Proses pengolahan batubara.
5.     Penumpukan batubara.
6.     Pemasaran batubara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar